Di Finlandia kemandirian dalam
mengikuti proses belajar mengajar itu tidak hanya dinikmati oleh
guru-gurunya yang begitu dihormati tetapi juga ditularkan kepada para
pelajar melalui berbagai kesempatan-kesempatan penting. Salah satunya
dimana setiap pelajar diberi otonomi khusus untuk menentukan jadwal
ujiannya untuk mata pelajaran yang menurutnya sudah dia kuasai.
Sistem
inilah yang dipertahankan oleh Finlandia hingga akhirnya berhasil
mengantarkan negara ini berada pada posisi puncak sebagai negara yang
paling berhasil mengelola pendidikan nasionalnya. Fantastiknya, dalam
evaluasi belajar, angka ketidak lulusan secara nasional tidak pernah
melebihi 2 persen pertahunnya. Finlandia juga tidak mengenal istilah
ujian semester apalagi ujian nasional layaknya ditanah air. Evaluasi
belajar secara nasional dilakukan tanpa ada intervensi pemerintah sekali
pun. Karena setiap sekolah bahkan guru berkuasa penuh untuk menyusun
kurikulumnya sendiri.
Jadi jangan pernah berhayal bahwa guru-guru
di Finlandia disibukkan untuk mengejar terget-target tertentu karena di
negeri ini guru selalu menyesuaikan bahan ajarnya dengan kebutuhan
setiap pelajar. Jadi, di Finlandia siapa pun presidennya dan menteri
pendidikannya tidak akan berpengaruh signifikan terhadap masa depan
pendidikan. Karena fungsi pemerintah dalam memajukan sektor pendidikan
adalah dukungan finansial dan legalitas.
Mau bagaimana caranya,
maka gurulah yang berwewenang atas itu karena guru dipandang sebagai
sosok yang paling mengerti mau dimana wajah pendidikan Finlandia dibawa
dimasa yang akan datang. Sistem ini telah berdampak positif kepada pola
cara mengajar guru yang tidak terlalu dipusingkan oleh hiruk pikuknya
politik nasional negaranya. Keseriusan negara Finlandia menyokong
keberhasilan pendidikan nasionalnya dibuktikan dengan diterapkannya
kebijakan gratis sekolah 12 tahun. Kerenkan?
Guru-guru Finlandia adalah lulusan terbaik setiap perguruan tinggi
dan mereka harus masuk dalam kelompok 10 besar lulusan terbaik. Jika
tidak, jangan pernah bermimpi jadi guru di negeri ini. Itulah sebabnya
guru-guru di Finlandia betul-betul berdedikasi tinggi. Gajinya besar
dong? Tidak. Guru-guru Finlandia justru digaji dengan gaji secukupnya
bahkan bisa dikatakan kurang memadai. Tetapi gurunya begitu menikmati
profesinya hal ini karena mayoritas masyarakat Finlandia begitu
menghormati dan menghargai profesi seorang guru.
Di Finlandia
hanya ada guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik
pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski
gaji mereka tidaklah fantastis. Lulusan sekolah menengah terbaik
biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah
pendidikan, dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima. Persaingannya
lebih ketat daripada masuk ke fakultas hukum atau kedokteran!
Jika
negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa
merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, Finlandia
justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang menghancurkan tujuan
belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat kita cenderung
mengajarkan kepada siswa untuk semata lolos dari ujian, ungkap seorang
guru di Finlandia. Pada usia 18 th siswa mengambil ujian untuk
mengetahui kualifikasi mereka di perguruan tinggi dan dua pertiga
lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi.
Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK!
Ini membantu siswa belajar bertanggungjawab atas pekerjaan mereka
sendiri, kata Sundstrom, kepala sekolah di SD Poikkilaakso, Finlandia.
Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari
sendiri informasi yang mereka butuhkan. Suasana sekolah sangat santai
dan fleksibel. Adanya terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan
rasa tertekan, dan mengakibatkan suasana belajar menjadi tidak
menyenangkan. Kelompok siswa yang lambat mendapat dukungan intensif. Hal
ini juga yang membuat Finlandia sukses.
Berdasarkan penemuan
PISA, sekolah-sekolah di Finlandia sangat kecil perbedaan antara siswa
yang berprestasi baik dan yang buruk dan merupakan yang terbaik menurut
OECD. Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai
kesempatan untuk memperbaiki. Seorang guru yang bertugas menangani
masalah belajar dan prilaku siswa membuat program individual bagi setiap
siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai, umpamanya:
Pertama, masuk kelas; kemudian datang tepat waktu; berikutnya, bawa
buku, dlsb. Kalau mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab
dengan benar, yang penting mereka berusaha.
Para guru sangat
menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika
kita mengatakan “Kamu salah” pada siswa, maka hal tersebut akan membuat
siswa malu. Dan jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam
belajar. Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya
diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak
dengan siswa lainnya.
Setiap siswa diharapkan agar bangga
terhadap dirinya masing-masing. Ranking hanya membuat guru memfokuskan
diri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya.
Ditanah air Indonesia, sebenarnya sistem pendidikan Finlandia telah
terterapkan sejak tahun 1961 melalui wadah gerakan pramuka. Apa yang
berlaku di Finlandia jelas-jelas merupakan sistem pendidikan yang
berlalu di gerakan pramuka. Dimana setiap kecakapan dan keterampilan
dibidang tertentu yang dimiliki oleh setiap anggota pramuka, bila sudah
merasa mampu bisa mengusulkan diri untuk di uji. Disamping itu, setiap
32 orang anggota pramuka dibina oleh 3 orang pembina secara terus
menerus. Akan tetapi sistem pendidikan kepanduan ditanah air ini tidak
mendapat respon yang positif ditanah air.
Buktinya kendati
berhasil melahirkan kader-kader bangsa yang mandiri, negara ternyata
tidak berani mengalokasikan dana BOS yang ada pada setiap sekolah untuk
sepersekian persen wajib dipergunakan untuk mengelola gerakan pramuka di
gugus depan. Pendidikan nasional kita yang masih sarat dengan
kepentingan politik kepala daerah menjadikan potret pendidikan begitu
semraut. Pelaksanaan UN yang jelas lebih banyak mudharatnya daripada
manfaatnya selalu dipertahankan untuk alasan yang tidak jelas. Bahkan
ironisnya lagi, UN telah mengajarkan bangsa ini bagaimana berlaku curang
dan menipu. Gilanya lagi peserta UN dikawal dan diamati setiap detik
melalui layar CCTV.
Seperti teroriskan. Cara-cara gila ini begitu
dibangga-banggakan oleh pemerintah bahkan institusi pendidikan sendiri.
Padahal metode ini punya dampak physicologi bagi para pelajar dimana UN
benar-benar menjadi beban berat. Jadi jangan heran bila di Nias pada
hari pertama UN ada siswa yang meninggal dunia begitu menerima lembar
soal ujian. Finlandia tidak pernah membebani muridnya untuk hal-hal yang
kurang bermutu atau mengurangi ke-kreativitasan seorang anak setelah
meninggalkan rumah sekolah. Maka, tugas tugas (PR), les tambahan dan
bimbingan ini dan itu nyaris tidak pernah ada di Finlandia. Bagaimana
dengan tanah air? Tekanan yang begitu berat sangat terasa apalagi
menjelang ujian nasional.
Setiap murid selalu diberi les tambahan
yang berlebihan, pelajar di wajibkan mengikuti Tryout hampir tiap bulan
dengan alasan untuk mengukur kemampuan siswa. Dirumah disuguhi lagi
dengan tugas-tugas berat bahkan ada lagi menu les tambahan yang
ditawarkan padahal nuansa bisnisnya lebih terasa daripada urgensinya
bagi peserta didik. Repot bukan? Alhasil, pelajar tanah air lahir dan
besar tanpa pernah mempergunakan otaknya untuk berkreativitas. Generasi
muda pun besar penuh dengan tekanan. Jadi jangan heran, walaupun lulus
UN 100 persen ternyata persentasi lulus SMPTN berbanding terbalik dengan
kelulusan UN.
Inilah setidaknya potret pendidikan kita dewasa
ini. Indonesia jatuh kepada tingkat kekhawatiran yang terlalu
berlebihan. Alih-alih untuk mencerdaskan bangsa tetapi cara-cara yang
dilakukan justru mengantarkan bangsa ini kelembah kehancuran.
Oleh
karena itu kita perlu berbenah. Mengembalikan sistem pendidikan kezaman
dahulu kala (seperti cerita orangtua kita) dimana setiap anak dan
orangtua begitu menghormati guru perlu kita lakukan. Guru harus diberi
otoritas penuh untuk mengatur kurikulumnya sendiri. Setiap anak juga
tidak dibebani dengan tugas ini dan itu. Bahkan birokrasi pendidikan
kita yang berbelit-belit perlahan-lahan harus dikurangi. Wajib belajar
12 tahun mutlak harus dilakukan tentunya dengan biaya gratis. Tidak
hanya itu wajar 12 tahun itu harus dengan satu izajah saja yaitu izajah
SMA. Sedangkan untuk SD dan SMP tidak lagi mengeluarkan izajah mengingat
tuntutan dunia kerja saat ini pun izajah dua jenjang pendidikan ini
tidak begitu diperlukan.
Oleh karena itu, perpindahan dari
tingkat SD ke SMP cukuplah dengan nilai rapor begitu juga dari SMP ke
SMA. Maka evaluasi belajar secara nasional hanya dilakukan dijenjang SMA
ketika yang bersangkutan akan melanjut keperguruan tinggi atau merambah
dunia kerja. Menggratiskan pendidikan dinegara ini bukanlah hal yang
mustahil. Bukankah 40 persen APBN kita mark-up dan 30 persennya
dikorupsi.
Jadi andai pengelolaan keuangan negara kita ditata
dengan baik maka tidak mustahil dimasa-masa yang akan datang biaya
pendidikan kita yang saat ini ditampung 20 persen dalam APBN kedepannya
akan meningkat menjadi 50 persen. Bila sudah demikian, bukankah
pendidikan kita sudah bisa digratiskan.